10.10.2010

Fiqh n Ushul Fiqh

“TOKOH HUKUM ISLAM DI INDONESIA”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugasMata Kuliah Fiqih dan Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Fatma Amalia, M.Si

Disusun oleh:

Septina Nugraheni(08630022)

Guliston Abdillah (08630023)

Ayu Nala EMH (08630024)

Wasis (08630025)

Elfa Adi Pradana (08630026)

Agustina Barida W(08630027)

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2009

PENDAHULUAN

Sejak pertama kali fiqh Islam lahir, ia telah berinteraksi dengan realitas sekitar masyarakat di mana fiqh dirumuskan dan diterapkan, dan realitas ulama yang memikirkan dan merumuskan. Dalam sejarah perkembangannya, dikenal ada fiqh Irak, fiqh Madinah, fiqh Syam dan fiqh Maghrib. Ada fiqh ahl ra’yi dan fiqh ahli hadits. Ada fiqh Abu Hanifah (w. 150H), Fiqh Malik bin Anas (w. 179H), Fiqh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204H) dan ada fiqh Ahmad bin Hanbal (241H). Di Indonesia pun, sejak pertama Islam masuk di Indonesia, telah dikenalkan berbagai aliran pemikiran fiqh yang lahir dan berkembang di Indonesia. Ada pemikiran Syekh Abdurrauf Singkel (1643-1693M), Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syekh Nawawi Banten (1230H/1813M-1314H/1897M), KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947M), KH. Ahmad Dahlan dan banyak lagi yang lain. Di antara pemikir hukum kontemporer yang tercatat memberi andil besar pada madzhab fiqh Indonesia, adalah M.T. Hasbi ash-Shiddiqi (1905-1975), Hazairin (1906-1975), Ibrahim Hosein, Munawir Syadzali (1925-...), KH. Sahal Mahfudz (1937-...) dan KH. Ali Yafie (1923-...),Masdar F. Mas’udi (1954-...).

Untuk mengenal lebih jauh perkembangan dan dinamika fiqh madzhab Indonesia, di bawah ini dibicarakan beberapa pemikir hukum. Dilihat dari sejarah perkembangan, pemikiran hukum Islam telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan, beberapa cara dan upaya untuk menginkorporasikan serta mempertimbangkan suatu unsur struktur kebudayaan (adat) ke dalam rumusan hukum Islam ternyata telah dilakukan oleh banyak kalangan. Para pemikir hukum Islam di Indonesia fase awal telah mendemonstrasikan secara baik tata cara menyantuni aspek lokalitas di dalam ijtihâd hukum yang mereka lakukan. Hasilnya, walaupun tidak sampai muncul seorang mujtahid mustaqil, tentunya dengan independensi metode penemuan hukum sendiri, kita dapat melihat lahirnya berbagai karya dengan memuat analisis penemuan hukum yang kreatif, cerdas, dan inovatif. Bersamaan dengan munculnya bermacam organisasi sosial keagamaan dan adanya usaha pergerakan dan persiapan kemerdekaan Republik Indonesia,

kesadaran epistemologi ini seakan redup dan gaungnya pun menjadi hilang. Prakonsepsi dan analisis historis singkat ini cukup tepat serta menuai relevansinya, mengingat pada masa menjelang kemerdekaan, jarang sekali ditemukan pemikiran hukum Islam yang cukup berbobot sebagaimana juga yang terjadi pada masamasa sebelumnya. Aplikasi konsep mashlahah yang diimplementasikan dalam mengatasi persoalan-persoalan hukum yang ada setidaknya cukup meyakinkan anggapan dasar ini. Persoalan ke arah legislasi hukum Islam mungkin juga layak dipertimbangkan sebagai latar belakangnya. Namun yang perlu disoroti di sini adalah bahwa tenaga dan pikiran kalangan Islam saat itu nyaris habis, tak tersisa. Baik untuk berpartisipasi mengurusi lahirnya negara baru, maupun untuk membahas masalah khilâfiyah-furû’iyah, yang notabene dilatarbelakangi oleh semangat primordial organisasi keagamaan yang mereka dukung. Polarisasi khilafiyah antar golongan mungkin menjadi faktor paling dominan yang teIah menghilangkan prioritas kerja pikir umat Islam terkait bagaimana merumuskan garis-garis pemikiran hukum Islam dalam kerangka developmentalisme, seiring perubahan situasi sosial politik yang terjadi. Keadaan kontra produktif seperti ini telah mengantarkan karakteristik pemikiran hukum Islam jauh pada titik terendah dalam kualitas pengembangan dan pemberdayaannya. Dari situ bisa disimpulkan bahwa arah perkembangan hukum Islam di Indonesia menjadi letih-lesu, malaiese, dan kehilangan orientasi. Kurang empirisnya wacana yang dikembangkan dalam pemikiran keislaman, yang mengakibatkan terbengkalainya sederet nomenklatur permasalahan sosial-politik yang terjadi di masyarakat, telah menggerakkan Soekarno untuk ikut memberikan kritik terhadap kerangka pikir (paradigma) yang selama ini dipakai para ulama. Kungkungan pola pikir para ulama yang fahm al-’ilm li al-inqiyâd ketika memahami doktrin hukum Islam yang terdapat di dalam khazanah literatur klasik (tsarwah fiqhiyyah), membuat eksistensi hukum Islam tampak resisten, tidak mampu mematrik diri, dan sebagai konsekuensinya ia hadir bagai panacea bagi persoalan sosial politik. Para ulama telah melupakan sejarah dan menganggap bahwa mempelajari sejarah tidaklah penting , sehingga kritik terhadap dimensi ini nyaris tidak ada. Paradigma sejarah akan mengubah tata cara memahami fiqh sebagai produk pemikiran yang bersifat nisbi (qabîl li an-niqâsy), bukan sebagai kebenaran ortodoksi-mutlak, yang absolutitas nalarnya mendeportasi tradisi kritik dan pengembangan. Hilangnya kesadaran sejarah (sense of history) inilah, dalam amatan Soekarno, yang telah menyebabkan pembaruan pemikiran Islam yang telah dilakukan tidak menunjukkan kontitum yang jelas. Diperlukan pergeseran paradigma (shift of paradigm) dari pola fahm al-îlm li al-inqîyâd ke pola fahm al-’ilmi li al-intiqâd, dalam upaya memahami segala bentuk warisan dan produk pemikiran masa lalu.

PEMBAHASAN

1.Tengku Muhammad Hasbi Asy-Syiddieqy

a. Latar Belakang Kehidupan

Muhammad Hasbi dilahirkan pada tanggal 10 maret 1904 M di Logsumawe, Aceh Utara. Ibunya bernama Tengku Amrah, putri tengku Abdul Aziz, pemanggku jabatan Qadli Chik Mangkubumi. Ayahnya bernama al-Haj Tengku Muhammad Husen bin Muhammad Su’ud. Hasbi adalah keturunan ketiga puluh tujuh dari abu bakar assidiq, oleh karena itulah sejak tahun 1952 M, atas saran Syaikh Muhammad bin Salim al-Kalali seorang ulama berdarah arab yang mukim di aceh, hasbi menggunakan sebutan ash-Shiddieqy dibelakang namanya sebagai nama keluarga.

Hasbi telah menjadi piatu sejak umur 6 tahun, karena ibunya wafat pada tahun 1910 M. Akhirnya beliau diasuh oleh tengku Shamsiyah bibiknya sendiri yang tidak berputra, namun baru dua tahun tinggal disana tepatnya tahun 1912 Tengku Syamsiyah telah di panggil kehadirat ilahi. Sepeninggal tengku Shamsiyah, Hasbi memilih tinggal dirumah kakaknya bernama Tengku Maneh. Hasbi menikah pada usia 19 tahun dengan Siti Khadijah, namun pernikahan tersebut tidak berlangsung lama, karena istrinya meninggal pada saat melahirkan anak pertama, tadak lama kemudian anak yang dilahirkan meninggal menyusul ibunya. Kemudian beliau menikah lagi dengan sepupunya bernama Tengku Nyak Asiyah.dengan Tengku Nyak Asiyah inilah Hasbi mengarungi kehidupan hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal pada tanggal 9 Desember 1975 di Jakarta.

b. karya-karya Hasbi

Karya tulis Hasbi pertama adalah dalam bentuk booklet yang berjadul penoetoep Moeloet, selain itu banyak karya-karya beliau dalam bentuk buku baik dalam bidang Tafsir, hadist maupun fiqh antara lain: al-islam, pedoman sholat, pedoman zakat, Tafsir an-Nur, mutiara hadist, koleksi hadist hukum, kuliah ibadah, pengantar ilmu fiqh, pengantar fiqh Mu’amalah, filsafat hukum islam, pedoman haji dan masih banyak yang lainnya.

c. dalil-dalil yang digunakan hasbi

a) Al-Qur’an

Sama seperti para ulama yang lain, Hasbi menempatkan al-qur’an sebagai sumber utama menempaykan hukum islam.

b) As-Sunnah

c) Ijma’

Menurut Hasbi ijma’ Shahabi dan ulama shalaf Mutaqaddimin adalah ijma’ yang sah dan jelas. Sementara untuk ijma’ ulam Mutaakhirin perlu diteliti keabsahannya, sebab seringkali yang dikatakan hasil ijma’ para ulama Mutaakhkhirin hanya ijma’ dikalangan ulama madzhab tertentu saja.

Selanjutnya menurut Hasbi untuk menghindari perbedaan fahamtentang ijma’ perlu dikembalikan pada pengertiaan ijma’ kepada makna harfiahnya seperti yang difahami pada awal islam. Ijma’ menurut Hasbi adalah musyawarah bulat mufakat anggota Ahl al-Hali wa ai-‘Aqdi.

d) Al-Qiyas dan ar-Ra’yu

e) Al-Urf

d. Hasil Ijtihad Hasby

Di antara hasil ijtihâd Hasbi yang mencerminkan pemikiran Fiqh Indonesia terlihat dalam fatwâ hukum jabat tangan antara laki-laki dan perempuan. Di sini ia berbeda pendapat dengan fatwâ Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Ahmad Hassan dari Persis yang mengharamkan praktik dan perilaku ini. Hasbi menolak mengharamkan praktik jabat tangan antara laki-laki dan perempuan karena beberapa alasan, di antaranya adalah karena hukum haram tersebut dilandaskan pada qiyâs.

Dalam pandangan Hasbi, mengharamkan sesuatu harus berdasarkan dalil nash yang qath’i, tidak boleh hanya dengan qiyâs. Oleh karena tidak ada dalil yang qath’i, baik dalam al-Qur’ân maupun As-Sunnah, yang mengharamkan praktik jabat tangan antara laki-laki dan perempuan maka praktik seperti itu tidak dilarang agama.

Terlepas dari tidak adanya dalil yang menunjukkan keharaman jabat tangan antara laki-laki dan perempuan dan juga bantahan rasional yang diberikan, tampaknya Hasbi menyadari hahwa praktik seperti itu sudah sekian lama hidup dan menjadi tradisi (‘urf) di masyarakat Indonesia. Karena Hasbi tidak melihat tradisi jabat tangan antara laki-laki dan perempuan sebagai hal yang berhahaya maka tidak ada alasan untuk melarangnya.

Ijtihâd Hasbi lainnya yang bisa diangkat di sini adalah tentang zakat. Dengan mengacu pada pandangan Abu Hanifahyang berbeda dengan pandangan Jumhur Ulama, Hasbi berpendapat mesin mesin produksi di pabrik besar wajib dizakati. Pandangan ini cukup relevan dengan konteks pembangunan negara yang membutuhkan banyak modal.

Dengan demikian, ia bisa digunakan untuk membiayai atau sebagai dana penunjang pembangunan di sektor yang lain. Sementara konsentrasi pelaksanaan dan pembagian zakat yang hanya berputar-putar di sekitar orang-orang yang secara ekonomi lemah sudah saatnya dipikirkan kembali relevansinya.

Dalam pandangan Hasbi, wewenang untuk mengurus zakat ada pada pemerintah, dan hal itu adalah satu paket dengan proyek penyelenggaraan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, baik muslim maupun non muslim. Oleh karena itu, pungutan zakat seharusnya juga tidak hanya ditujukan kepada kaum muslim, akan tetapi juga kepada masyarakat non muslim. Dengan mengacu pada argumen bahwa hukum zakat berlaku dalam setiap agama, dan bahwa sahabat Umar pernah memungut zakat atas Nasrani golongan Tagluba, dalam hal ini, tampaknya Hasbi tidak menarik garis demarkasi yang tegas antara zakat dan pajak. Asumsi ini menjadi semakin valid dengan melihat pandangannya yang lain tentang perlunya pemerintah membentuk lembaga khusus, semacam dewan zakat (bait al-mal) yang berdiri sendiri, terlepas dari departemen keuangan atau instansi keuangan lainnya.

Dalam hal ini, Hasbi terlihat ingin memisahkan pengelolaan kekayaan hasil pungutan zakat dari kekayaan negara yang diperoleh dari pajak. Jika demikian halnya maka persoalan yang belum dipecahkan Hasbi adalah tentang pungutan ganda zakat danpajak, satu jenis pungutan dengan objek dan tujuan yang sama. Persoalan lain yang sebenarnya masih terkait dengan masalah zakat adalah tentang orang yang berhak menerima zakat. Pandangan Hasbi yang cukup berani dalam konteks ini adalah bahwa orang miskin non muslim yang tidak sanggup bekerja dimasukkan sebagai golongan fakir miskin yang berhak menerima zakat. Walaupun berbeda dengan mainstream konsep fiqh ulama klasik, namun alasan yang diajukannya cukup mewakili pandangan dunianya, yakni dalam rangka membina kesejahteraan bersama antar umat manusia dalam satu negara. Dari sini terlihat keistimewaan (maziyah) hukum Islam dan nilai universalnya secara implisit coba ditunjukan oleh Hasbi, bahwa hukum ini sejalan dengan konstitusi dan hokum positif negara, dan bisa digunakan sebagai sarana bagi proses pembangunan. Dengan demikian, ia bisa digunakan untuk membiayai atau sebagai dana penunjang pembangunan di sektor yang lain. Sementara konsentrasi pelaksanaan dan pembagian zakat yang hanya berputar-putar di sekitar orang-orang yang secara ekonomi lemah sudah saatnya dipikirkan kembali relevansinya.

Dalam pandangan Hasbi, wewenang untuk mengurus zakat ada pada pemerintah, dan hal itu adalah satu paket dengan proyek penyelenggaraan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, baik muslim maupun non muslim. Oleh karena itu, pungutan zakat seharusnya juga tidak hanya ditujukan kepada kaum muslim, akan tetapi juga kepada masyarakat non muslim. Dengan mengacu pada argumen bahwa hukum zakat berlaku dalam setiap agama, dan bahwa sahabat Umar pernah memungut zakat atas Nasrani golongan Tagluba, dalam hal ini, tampaknya Hasbi tidak menarik garis demarkasi yang tegas antara zakat dan pajak. Asumsi ini menjadi semakin valid dengan melihat pandangannya yang lain tentang perlunya pemerintah membentuk lembaga khusus, semacam dewan zakat (bait al-mal) yang berdiri sendiri, terlepas dari departemen keuangan atau instansi keuangan lainnya20. Dalam hal ini, Hasbi terlihat ingin memisahkan pengelolaan

Kekayaan hasil pungutan zakat dari kekayaan negara yang diperoleh dari pajak. Jika demikian halnya maka persoalan yang belum dipecahkan Hasbi adalah tentang pungutan ganda zakat dan pajak, satu jenis pungutan dengan objek dan tujuan yang sama. Persoalan lain yang sebenarnya masih terkait dengan masalah zakat adalah tentang orang yang berhak menerima zakat. Pandangan Hasbi yang cukup berani dalam konteks ini adalah bahwa orang miskin non muslim yang tidak sanggup bekerja dimasukkan sebagai golongan fakir miskin yang berhak menerima zakat21. Walaupun berbeda dengan mainstream konsep fiqh ulama klasik, namun alasan yang diajukannya cukup mewakili pandangan dunianya, yakni dalam rangka membina kesejahteraan bersama antar umat manusia dalam satu negara. Dari sini terlihat keistimewaan (maziyah) hukum Islam dan nilai universalnya secara implisit coba ditunjukan oleh Hasbi, bahwa hukum ini sejalan dengan konstitusi dan hokum positif negara, dan bisa digunakan sebagai sarana bagi proses pembangunan.

2. Munawir Sjadzali

Masih segar dalam ingatan kita tentang ide-ide reaktualisasi ajaran Islam, pembentukan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dan pengiriman dosen IAIN untuk studi ke negara-negara Barat. Siapa lagi kalau bukan Munawir Sjadzali, tokoh di balik gagasan yang cemerlang dan terobosan yang berani itu. Langkah Munawir ini bisa dikatakan sebagai solusi atas kebekuan pemikiran Islam dan sistem pendidikan Islam. Meski mengawali karir di Kementerian Luar Negeri, penguasaan dan kepiawaian Munawir terhadap pengetahuan agama Islam membuat dirinya sukses menahkodai Departemen Agama. Terbukti, ia dipercaya Presiden Soeharto untuk memimpin Departemen ini selama dua periode, sejak 14 Maret 1983 (1983-1993). Selama menjabat Menteri agama, tidak sedikit kebijakan yang telah diambil Munawir. Setidaknya ada tiga agenda yang paling menonjol. Pertama, menuntaskan Pancasila sebagai asas organisasi sosial-kemasyarakatan. Kedua, pembenahan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ketiga, penguatan keberadaan Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam.

Jika ditelusuri, sosok Munawir tidak hanya terkenal dengan terobosan-terobosannya dalam pemerintahan, tetapi juga konsistensi pemikirannya sejak masa muda hingga menjabat Menteri Agama, khususnya berkaitan dengan pandangannya mengenai hubungan Islam dan negara. Jika ditelaah, pandangan Munawir tentang hubungan Islam dan negara layaknya sebuah garis lurus; menurutnya tidak ada ketetapan doktrinal yang mengharuskan kaum muslim untuk mendirikan negara Islam. Pandangan ini dipegang Munawir sejak awal perkembangan inteletualnya hingga sekarang.

Biografi Intelektual Munawir Sjadzali

Munawir Sjadzali lahir di desa Karanganom, Klaten, Jawa Tengah, pada 7 November 1925. Ia adalah anak tertua (delapan bersaudara) dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadzali (putra Tohari) dan Tas‘iyah (putri Badruddin). Dari kedepalan bersaudara, yang masih hidup hingga sekarang tinggal tiga orang: Munawir sendiri, Hamnah Qasim (anak kelima), dan Hifni (anak keenam). Hasyim (anak ketiga) gugur dalam perang kemerdekaan 1948; empat lainnya meninggal sebelum mencapai usia lima tahun; satu orang meninggal karena terbakar lampu minyak; dan satu lagi menurut Munawir sendiri karena kurang gizi. Dari segi ekonomi, memang keluarga Abu Aswad jauh dari cukup, tetapi dari segi agama keluarga ini sangat taat beragama.

Dua fenomena ini, kondisi ekonomi yang serba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan, menghadapkan Munawir pada satu pilihan pendidikan: madrasah. Selain karena biaya pendidikan di lembaga pendidikan Islam ini relatif murah, tetapi juga karena lembaga pendidikan ini mengutamakan ilmu-ilmu tradisional Islam. Karena alasan ini pula, setelah menamatkan Madrasah Ibtidaiyah di kampungnya, Munawir melanjutkan pendidikan ke Mambaul Ulum, Solo.

Dengan segala penderitaan dan perjuangan, pada tahun 1943 tepatnya di usia 17 tahun, Munawir berhasil menyelesaikan sekolahnya di mambaul Ulum dengan mengantongi ijazah dari madrasah terkenal ini. Melihat pendidikan yang ditempuh, Munawir tidak hanya dapat dikategorikan sebagai santri secara formal, tetapi juga substansial. Sebagai santri, ciri yang paling menonjol dari Munawir adalah kemampuannya untuk memahami kitab-kitab klasik Islam. Pada gilirannya, hal ini membawa implikasi pada luasnya wawasan keagamaan, karir intelektual dan pemerintahan, serta kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan jabatannya sebagai Menteri Agama.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Mambaul Ulum, Munawir melakukan pengembaraan panjang, menjadi guru di sekolah Muhammadiyah Salatiga dan kemudian pindah menjadi guru di Gunungpati, Semarang. Dari Gunungpati inilah keterlibatan Munawir dalam kegiatan-kegiatan umat Islam dalam skala nasional dimulai. Kegiatan Munawir yang tadinya hanya mengajar, berkembang ke arah kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Munawir hampir selalu dilibatkan dalam kegiatan yang diadakan oleh badan-badan resmi maupun swasta. Bahkan di Gunungpati inilah untuk pertama kalinya Munawir bertemu dengan Bung Karno yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan berkunjung ke Gunungpati, sebagai penghargaan atas suksesnya kecamatan ini dalam mengumpulkan dukungan untuk Putera.

Munawir adalah tipe seorang aktifis yang banyak berkiprah dalam beberapa organisasi, di antaranya: sebagai Ketua Angkatan Muda Gunungpati, Ketua Markas Pimpinan Pertempuran Hizbullah-Sabilillah (MPHS) dan Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Semarang. Kehidupan Munawir selama setahun di Semarang sangat mempengaruhi perjalanan hidupnya. Pertama, Munawir menemukan jodohnya, seorang gadis bernama Murni, yang waktu itu aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII). Setelah melewati proses sederhana, pada 25 Mei 1950, Munawir melangsungkan “pernikahan sirri” dengan Murni, putri Tas Sekti, cucu Tasripin, seorang konglomerat pribumi Semarang. Acara pernikahan resmi yang diikuti resepsi selanjutnya dilaksanakan pada 11 Oktober 1950. Pernikahan Munawir-Murni ini dianugerahi enam orang anak, tiga laki-laki dan tiga wanita. Kedua, karena memiliki banyak waktu luang di Semarang seusai muktamar GPII, Munawir mencoba menelaah konsepsi politik Islam yang berkembang di masa klasik. Dengan memanfaatkan perpustakaan KH. Munawar Kholil, yang penuh dengan kitab-kitab Islam klasik, Munawir berhasil menulis buku: Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam? Buku inilah yang mengantarkan Munawir meniti karir yang lebih tinggi, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama.

Munawir Sjadzali dan Pembaruan Pendidikan Agama Islam

Munawir Sjadzali sangat getol melakukan pembenahan pendidikan, khususnya pendidikan di wilayah Departemen Agama. Hal ini karena menurutnya, pendidikan merupakan media yang paling tepat untuk menyiapkan calon pemimpin bangsa yang tangguh. Untuk itu, Munawir segera melakukan pembenahan terhadap IAIN. Kenapa IAIN? Karena, IAIN merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam yang strategis, akan tetapi tidak diimbangi dengan landasan hukum yang kuat. Kondisi demikian selanjutnya berimplikasi pada kecilnya anggaran yang diterima IAIN, khususnya jika dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri lainnya –yang bernaung di bawah payung Depdikbud. Sehingga, hal ini harus dicarikan solusi secepatnya, agar IAIN betul-betul mampu menjadi lembaga yang mencetak kader berpendidikan agama yang berkualitas. Setidaknya ada dua langkah yang dilakukannya sebagai solusi atas hal itu, pertama, pembenahan yang dilakukan dari segi hukum, dan kedua, dari segi Sumber Daya Manusia (SDM).

Dari segi hukum, Munawir menjalin kerjasama dengan Depdikbud dan Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Baik Mendikbud, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto maupun Menpan, Prof. Dr. Saleh Afif menyambut baik prakarsa ini. Mereka bahkan sangat antusias membantu usaha Departemen Agama untuk menata pendidikan agama di Indonesia. Pihak Mendikbud mengatakan, ”Jika IAIN dapat memenuhi syarat-syarat minimal sebuah perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Depdikbud, maka IAIN akan diberlakukan sebagai perguruan tinggi yang statusnya sama dengan perguruan tinggi yang berada di bawah Depdikbud”. Pengakuan ini merupakan kemajuan yang sangat berarti bagi IAIN.

Tak lama kemudian, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang IAIN akhirnya tersusun. Pada bulan Mei 1985, Nugroho Notosusanto, Saleh Afif dan Munawir menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha. RPP tentang dasar hukum IAIN tersebut akhirnya ditetapkan menjadi PP No. 33 Tahun 1985. Dengan PP ini status, perlakuan, dan fasilitas IAIN yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia sederajat dengan perguruan tinggi negeri yang dikelola Depdikbud. Peraturan Pemerintah itu selanjutnya dijabarkan dalam Keppres No. 9 Tahun 1987 yang kemudian menjadi bagian dari UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Artinya pendidikan agama diletakkan sebagai sub-sistem pendidikan nasional, yang menjadi bagian dan penopang sistemnya.

Setelah berhasil membenahi segi dasar hukum IAIN, langkah Munawir selanjutnya adalah melakukan pembenahan dari segi sumber daya manusia. Pertama kali yang mendapat perhatian Munawir adalah sistem pendidikan madrasah. Selama ini madrasah masih dianggap sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dibandingkan sekolah umum. Fasilitas yang minimal, lokasi yang kebanyakan di pedesaan, dan kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agama dan umum, menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul bagi IAIN. Untuk itu, ia meninjau kembali SKB Tiga Menteri tahun 1975 yang dikeluarkan pada masa Prof. Dr. Mukti Ali menjabat Menteri Agama. SKB Tiga Menteri antara lain menetapkan bahwa madrasah harus bermuatan 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama, dengan harapan agar madrasah sederajat dengan sekolah umum, terutama dari segi kurikulum.

Maksud SKB ini memang baik, tetapi akibat yang tampaknya kurang diperhitungkan adalah tamatan Madrasah Aliyah (MA) menjadi lebih siap masuk ke perguruan tinggi umum daripada perguruan tinggi agama. Mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN. Penguasaan agama tamatan MA bukan hanya sangat lemah, lebih dari itu bahkan tidak dapat diandalkan untuk menjadi calon-calon ulama. Sehingga, Munawir merasa perlu untuk menyempurnakan SKB Tiga Menteri itu.

Bentuk penyempurnaan itu adalah mengadakan pilot project Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan muatan kurikulum 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum. Dengan struktur kurikulum demikian, konsekuensinya tamatan MAPK, tidak dapat masuk ke perguruan tinggi umum, tetapi mereka adalah bibit-bibit unggul bagi IAIN. Dengan proyek ini, harapan untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang sejalan dengan tantangan modernitas melalui IAIN dengan cepat akan segera terwujud. Ide penyempurnaan SKB Tiga Menteri ini disetujui oleh Presiden Soeharto. Sehingga pada 1988 proyek MAPK dimulai dan untuk tahap pertama, dibuka di lima lokasi; Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Ujung Pandang, dan Jember. Selanjutnya, MAPK ditambah di lima kota lagi, yaitu di Banda Aceh, Lampung, Solo, Banjarmasin, dan Mataram.

Dalam perkembangannya, menurut Dr. Zamakhsjari Dhofier, jumlah MAPK sudah membengkak menjadi 110 buah. Salah satu keberhasilan proyek ini, menurut Munawir adalah berhasilnya 48 alumni MAPK tahun 1991 mengikuti proses belajar mengajar di Universitas Al-Azhar. Melihat keberhasilan proyek MAPK ini, Presiden Soeharto memberikan saran agar proyek serupa juga diterapkan untuk Madrasah Tsanawiyah.

Kegelisahan Munawir bukan hanya berkaitan dengan kondisi Madrasah saja, melainkan juga mutu staf pengajar IAIN. Sehingga, bersamaan dengan pelaksanaan proyek MAPK, ia juga berusaha meningkatkan kualitas dosen IAIN. Hal ini dilakukan dengan menghidupkan kembali tradisi mengirim dosen IAIN untuk studi ke negara-negara Barat. Khususnya ke Universitas McGill, (Montreal, Kanada) dan Universitas Leiden (Belanda), yang dulu pernah dirintis Mukti Ali. Menurutnya, ilmuwan Muslim Indonesia yang mampu berkomunikasi dengan dunia modern adalah mereka yang di samping mendapat pendidikan S1 di Timur, juga mengenyam pendidikan S2 dan S3 di Barat. Munawir menunjuk nama-nama seperti Prof. Dr. HM. Rasjidi, Prof. Dr. Mukti Ali, dan Prof. Dr. Harun Nasution sebagai prototype ilmuwan Muslim Indonesia.

Program pengiriman dosen ke luar negeri relevan dengan usaha menjaring alumni IAIN yang berkualitas, sehingga pada tahun 1988 dibuka Program Pembibitan Calon Dosen IAIN. Selain pesertanya sangat terbatas, hanya diikuti oleh tak lebih dari 30 peserta, program ini juga hanya menerima mereka yang indeks prestasi kumulatifnya di atas tiga. Di samping itu, para peserta juga harus memiliki dasar-dasar penguasaan bahasa yang memadai, baik Inggris maupun Arab. Hal ini untuk memenuhi persyaratan yang diminta lembaga-lembaga pemberi beasiswa dan universitas-universitas Barat.

Pada periode 1988-1991, program pengiriman dosen ini mengalami sukses. Tak kurang dari 75% pesertanya diterima untuk program S2 dan S3 di universitas-universitas Barat, seperti McGill di Kanada; UCLA di Columbia, Chicago, dan Harvard di USA; London, Leiden, dan Hamburg di Eropa Barat; serta ANU, Monash, dan Flinders di Australia. Kesuksesan ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelangsungan pengiriman mahasiswa tahap berikutnya. Menurut catatan Munawir, selama ia menjadi Menteri Agama, Departemen Agama telah mengirim sebanyak 225 mahasiswa ke Barat. Sampai tahun 1993, dari mereka itu telah kembali ke Indonesia sebanyak 12 orang dengan menyandang gelar Ph.D dan sebanyak 67 orang dengan gelar MA.

Pengiriman dosen IAIN ke universitas-universitas Barat dapat dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Munawir Sjadzali tentang hubungan antara Islam dan negara. Munawir menginginkan agar para dosen IAIN mampu berkomunikasi dengan para teknokrat dan birokrat yang rata-rata tamatan universitas-universitas Barat. Kelompok pertama merepresentasikan kalangan agama, sedangkan yang kedua mewakili unsur-unsur modernitas.

Banyak sekali kebijakan berkenaan dengan keagamaan dan lembaga-lembaga keagamaan yang dikeluarkan oleh Munawir Sjadzali selama menduduki jabatan Menteri Agama. Di antaranya: pembenahan lembaga-lembaga pendidikan Islam, penguatan keberadaan Pengadilan Agama, dan Kompilasi Hukum Islam. Berkat jasanya dalam pengiriman dosen ke luar negeri, sekarang tidak ada lagi kesenjangan antara mutu dosen IAIN dan dosen perguruan tinggi lainnya. Hal ini juga berimplikasi pada kualitas IAIN dan alumninya.

Secara umum kebijakan Munawir sagat relevan dengan mainstream pemikirannya yang lebih menekankan pentingnya substansi daripada yang formal dan legal, baik secara keagamaan maupun sosial. Memperjuangkan politik Islam, menurutnya hanyalah untuk memformalkan agama dalam birokrasi kenegaraan dan hal itu justru akan menimbulkan ketegangan yang panjang antara umat Islam dan pemerintah. Ketika umat Islam bersikap akomodatif, ternyata membawa sejumlah impikasi positif terhadap kehidupan keagamaan di negeri ini. Di antaranya adalah kesediaan negara untuk mengakomodasi aspirasi umat Islam. Gairah kehidupan keagamaan tidak hanya mengalami kebangkitan, tetapi juga mendapatkan fasilitas untuk berkembang. Peraturan-peraturan agama tidak hanya diakui, tetapi juga dijalankan. Lembaga Peradilan Agama juga diakui sejajar dengan lembaga-lembaga pengadilan lainnya. Di samping itu, kehidupan keagamaan di kalangan masyarakat juga semakin semarak. Kajian-kajian keagamaan muncul di kantor-kantor dan hotel-hotel berbintang. Terdapat antusiasme yang besar di kalangan masyarakat untuk mengkaji Islam.

3. Hazairin

Sejarah sosial pemikiran hukum Islam di atas telah mendorong Hazairin, untuk membentuk Fiqh Madzhab Nasional Indonesia. Dalam konteks pembicaraan bahwa permasalahan yang dihadapi umat Islam Indonesia adalah masalah hukum, dan bahwa karakteristik hukum Islam berbeda dengan unsur keimanan dan keislaman lainnya, maka menurut Hazairin, eksistensi hukum Islam bisa dikatakan sedang mencari-cari tempat di dalam masyarakat. Dari titik berangkat ini, ide Fiqh Madzhab Nasional Indonesia menuai signifikansinya. Dalam amatan Hazairin, bentangan perjalanan sejarah hukum Islam yang mewartakan bahwa pintu ijtihâd senantiasa terbuka bagi para mujtahid, cukup bisa dijadikan alasan dan pertimbangan akan perlunya memikirkan konstruk madzhab baru yang lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia. Menurutnya, madzhab hukum Syafi’i harus dikembangkan sehingga mampu menjadi penghubung bagi resolusi problem-problem spesifik masyarakat Indonesia. Berbeda dengan pandangan Hasbi ash-Shiddieqy yang menginginkan membentuk Fiqh Indonesia dengan cara menggunakan semua madzhab hukum yang telah ada (muqâranah al-rnadzâhib) sebagai bahan dasar dan sumber materi utamanya, Hazairin justru menginginkan pembentukan fiqh madzhab nasionalnya ini dengan titik berangkat hanya dari pengembangan fiqh madzhab Syafi’i. Pandangan Hazairin ini lebih didasarkan pada kenyataan bahwa madzhab Syafi’I telah sekian lama dianut oleh masyarakat Indonesia, sehingga karakternya bisa dikatakan paralel dengan nilai-nilai adat Indonesia. Bagi Hazairin, eksistensi hukum adat tidak bisa dikesampingkan begitu saja di dalam proses pembuatan hukum Islam di Indonesia. Penilaian yang kurang tepat terhadap hukum adat, terutama ketika ia dianggap sebagai faktor yang menghalangi pengembangan hukum Islam, dan begitu juga sebaliknya, tidak bisa lepas dari kondisi politik kolonial masa lalu, terutama sejak munculnya teori receptie. Menurut Hazairin, umat Islam tidak perlu lagi terjebak dalam kontroversi tentang status hukum Islam hanya karena adanya propaganda dari teori iblis ini. Dia menyarankan agar umat Islam memakai hukum Islam sebagai hukum yang ditaati guna menata kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, peradilan Islam dimungkinkan untuk berdiri dan integral dengan peradilan negara, yang dalam hal ini berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Menurut Hazairin, dengan merujuk pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945, maka sebenarnya tidak perlu lagi terjadi pertentangan antara sistem hukum adat, hukum positif, dan hukum agama. Begitu juga tidak boleh lagi ada satu ketentuan dan hukum baru yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan juga hukum agama yang lain, dan begitu pula sebaliknya. Negara wajib mengayomi setiap orang untuk bisa menjalankan ajaran- ajaran agama yang diyakininya. Selain itu, negara juga wajib mengatur dan mengontrol sistem hukum Islam, terutama aspek mu’amalahnya, yang memang membutuhkan bantuan negara dalam implementasinya.

Dengan melihat paparan di atas, ide Hazairin tentang Fiqh Madzhab Nasional Indonesia boleh dikatakan merupakan prolifelari (pengembangan) dari gagasan Fiqh Madzhab Indonesia yang digagas oleh Hasbi ash-Shiddieqy. Titik temu pandangan keduanya terletak pada entri bahwa hukum adat masyarakat Islam Indonesia harus digunakan sebagai bahan pertimbangan utama dalam proses pembentukan hukum Islam di Indonesia. Dalam hal ini, Hazairin berusaha melempangkan pemikiran Hasbi yang sebelumnya kurang diperhatikan (unresponsive), yaitu upaya mempersatupadukan nilai-nilai yang berasal dari adat maupun hokum Islam ke dalam satu entitas hukum. Dengan upaya penyelarasan ini, setidaknya akan menghasilkan satu hasil ijtihâd baru yang lebih mendekatkan hukum Islam kepada masyarakat muslim Indonesia, sehingga penyimpangan (hiyal), seperti yang ditempuh oleh beberapa negara Islam (dalam upaya mereformasi undangundang hukum keluarga), tidak perlu dilakukan.

Kesejajaran pemikiran Hazairin dengan pemikiran Hasbi ash-Shiddieqy juga dapat dilihat pada perubahan nama dari tema pemikiran yang ia usulkan. Pada buku yang berjudul Hukum: Kekeluargaan Nasional, Hazairin melakukan perubahan dari istilah “Madzhab Nasional” ke “Madzhab Indonesia”, suatu konsep yang jelas mengantisipasi ide Fiqh Indonesia sebagaimana yang pernah ditawarkan oleh Hasbi ash-Shiddieqy.

Dalam amatan Hazairin, fiqh ahl as-sunnah terbentuk dalam masyarakat Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan patrilineal, dalam suatu masa sejarah, ketika ilmu pengetahuan tentang bentuk-bentuk kemasyarakatan belum berkembang. Hal ini menyebabkan para mujtahid berpandangan sempit, karena belum adanya perbandingan-perbandingan mengenai berbagai hal terkait masalah hukum, terutama dalam masalah kewarisan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila dalam pengimplementasiannya terjadi konflik antara sistem kewarisan yang dihasilkan ahl as-sunnah dengan sistem kewarisan adat dalam berbagai lingkungan masyarakat Indonesia.

Dengan cara pandang seperti itu, Hazairin kemudian mencoba untuk mencari kebenaran hakiki-yang mungkin paling dekat dengan keinginan al-Qur’ân-dari ayat-ayat kewarisan, berdasarkan keyakinan bahwa Tuhan tentu hanya menginginkan adanya satu kebenaran saja terhadap setiap kemauan-Nya. Suatu kebenaran yang tidak akan diperselisihkan lagi tingkat akurasinya, Karena sudah final. Usaha ini dimulai dengan menghimpun semua ayat dan hadits yang berhubungan dengan kewarisan, lalu menafsirkannya sebagai satu kesatuan yang saling menerangkan. Usaha ini didukung sepenuhnya oleh hasil temuan ilmu antropologi sebagai kerangka acu (frame of reference) untuk membantu menjelaskan pengertian dan konsep-konsepnya.

Sebagaimana telah disinggung di muka, ijtihâd hukum yang dilakukan Hazairin adalah dalam medan hukum kewarisan. Menurutnya, konsep hukum kewarisan Islam yang selama ini berjalan dengan menganut sistem patrilineal (menarik garis keturunan hanya dari arah laki-laki saja). Itu sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya Timur Tengah (Arab) yang juga demikian. Hukum kewarisan dalam al-Qur’ân, bagi Hazairin, esensinya menganut sistem bilateral, yakni menarik harta dari pihak ayah dan ibu. Pemikiran ini muncul setelah ia melakukan penelitian atas ayat-ayat al-Qur’ân tentang waris, dan melakukan hipotesis (dugaan) bahwa bukan masyarakat yang berclan atau patrilineal yang dikehendaki al-Qur’ân, melainkan yang dikehendaki adalah masyarakat bilateral. Hipotesis ini didasarkan dan dilatarbelakangi oleh fenomena perkawinan sahahat Ali dan puteri Nabi, Fatimah az-Zahra, yang dibenarkan oleh al-Qur’ân. Dalam pandangan masyarakat ber-clan, sebagaimana terjadi di Arab sebelum datangnya Islam, perkawinan seperti ini, yang biasa disebut eksogami, jarang sekali dilakukan, dianggap tabu, dan karena itu tidak dapat dibenarkan.

Dengan adanya ‘restu’ dari AI-Qur’ân yang mewujud dalam pernikahan ini, Hazairin menarik pemahaman hahwa sistem kekeluargaan dalam al-Qur’ân adalah sistem bilateral, bukan patrilineal. Pengandaian sistem kekeluargaan seperti ini berimplikasi pada sistem kewarisannya. Harta yang ditinggalkan oleh orang yang masih hidup juga harus diatur menurut hukum kewarisan bilateral. Dalam ranah antropologi, hukum kewarisan itu adalah kelanjutan dari hukum perkawinan, dan hukum perkawinan tidak boleh berbeda dengan hukum kewarisan. Pemikiran hukum kewarisan bilateral yang ada dalam AI-Qur’ân ini telah memunculkan perspektif sekaligus pandangan baru dalam rangkaian detail dan turunan angka pembagian harta warisan. Implikasi lebih jauh yang ditimbulkan oleh gagasan Hazairin ini menjangkau permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

a. Istilah `ashabah berasal dari adat masyarakat Arab, dan karena itu tidak seharusnya dipertahankan;

b. Kedudukan keturunan melalui anak perempuan, dan seterusnya ke bawah, sama kuatnya dengan keturunan melalui anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah;

c. Memasukkan ahli waris karena pergantian ke dalam sistem kewarisan Islam, dengan menggunakan surat an-Nisa’ ayat 33 sebagai landasannya;

d. Memperkenalkan pengelompokkan baru untuk ahli waris, yaitu dzawi al-furûdh, dzawi al-qarâbah, dan mawâli, sebagai ganti dari dzawi al-furûdh, ‘ashabah, dan dzawi al-arhâm;

e. Ke dalam pengertian kalâlah (mati punah) diikutsertakan orang yang hanya mati punah ke bawah (tidak meninggalkan keturunan). Hal ini berbeda dengan fiqh Sunni, yang mengartikan kalalâh sebagai orang yang mati tidak meninggalkan keturunan laki-laki dan ayah.

Pandangan-pandangan di atas mengandaikan bahwa masing-masing cucu akan mengambil hak ayah dan ibunya yang telah meninggal. Dalam kasus pertama, harta warisan setelah dikeluarkan untuk dzawi al-furûdh, kemudian dibagi menjadi empat bagian: satu bagian untuk anak perempuan, satu bagian untuk cucu laki-laki sebagai pengganti dari ibunya, dan dua bagian untuk cucu perempuan sebagai pengganti dari ayahnya. Dalam kasus kedua, dengan proses yang sama, cucu melalui anak laki-laki memperoleh 2/3, cucu melalui anak perempuan mendapat 1/5, dan anak-anak perempuan kandung masing-masing mendapat 1/5 bagian.

Harus diakui bahwa seandainya pendapat di atas diterima secara penuh maka jelas akan mempunyai implikasi yang serius dalam hukum kewarisan Islam. Pandangan Hazairin tentang sistem waris bilateral ini merupakan horizon dan teori baru dalam sistem kewarisan Islam. Lebih dari itu, ia telah membongkar konsepsikonsepsi hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam berbagai madzhab hukum Islam, baik Sunni maupun Syi’i. Menurut penulis, di antara pemikir hukum Islam Indonesia, hanya (baru) Hazairin yang mampu menghasilkan teori yang, demikian original. Keadaan ini, memungkinkannya disebut sebagai mujtahid fi al-asyyâ’, yakni sosok mujtahid yang dalam batas-batas tertentu memakai konsep dan metode sendiri, serta mampu menghasilkan teori baru bagi pengembangan hukum Islam, yang berbeda sama sekali dengan rumusan-rumusan yang telah lebih dahulu ada (muncul).


PENUTUP

Dalam pandangan Hasbi, mengharamkan sesuatu harus berdasarkan dalil nash yang qath’i, tidak boleh hanya dengan qiyâs. Oleh karena tidak ada dalil yang qath’i, baik dalam al-Qur’ân maupun As-Sunnah, yang mengharamkan praktik jabat tangan antara laki-laki dan perempuan maka praktik seperti itu tidak dilarang agama.

Terlepas dari tidak adanya dalil yang menunjukkan keharaman jabat tangan antara laki-laki dan perempuan dan juga bantahan rasional yang diberikan, tampaknya Hasbi menyadari hahwa praktik seperti itu sudah sekian lama hidup dan menjadi tradisi (‘urf) di masyarakat Indonesia. Karena Hasbi tidak melihat tradisi jabat tangan antara laki-laki dan perempuan sebagai hal yang berhahaya.

Secara umum kebijakan Munawir sagat relevan dengan mainstream pemikirannya beliauMemperjuangkan politik Islam, menurutnya hanyalah untuk memformalkan agama dalam birokrasi kenegaraan dan hal itu justru akan menimbulkan ketegangan yang panjang antara umat Islam dan pemerintah. Gairah kehidupan keagamaan tidak hanya mengalami kebangkitan, tetapi juga mendapatkan fasilitas untuk berkembang. Peraturan-peraturan agama tidak hanya diakui, tetapi juga dijalankan. Lembaga Peradilan Agama juga diakui sejajar dengan lembaga-lembaga pengadilan lainnya. Di samping itu, kehidupan keagamaan di kalangan masyarakat juga semakin semarak. Kajian-kajian keagamaan muncul di kantor-kantor dan hotel-hotel berbintang. Terdapat antusiasme yang besar di kalangan masyarakat untuk mengkaji Islam. maka tidak ada alasan untuk melarangnya.

Pandangan Hazairin tentang sistem waris bilateral ini merupakan horizon dan teori baru dalam sistem kewarisan Islam. Lebih dari itu, ia telah membongkar konsepsikonsepsi hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam berbagai madzhab hukum Islam, baik Sunni maupun Syi’i.

DAFTAR PUSTAKA

Azra,Azyumardi.1998.Menteri-menteri Agama RI; Biografi Sosial-Politik .Jakarta: Kerjasama INIS, PPIM, dan Badan Litbang Agama Departemen Agama RI.

.2005.Fiqh dan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Hazairin.1982. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tintamas.

Abdur, Iqbal Rauf Saimia.1988.Reaktualisasi ajaran Islam.Jakarta: Pustaka Panjimas.

.1976. Beberapa Permasalahan Zakat.Jakarta: Tinta Mas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar